Ekspansi Tambang Nikel di Raja Ampat Picu Penolakan Masyarakat Adat dan Aktivis Lingkungan

Waisai, 7 Juni 2025Ekspansi pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, memicu gelombang penolakan dari masyarakat adat dan aktivis lingkungan. Mereka menilai aktivitas tambang mengancam kelestarian ekosistem laut, keberlanjutan pariwisata, serta kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat.

Salah satu titik sorotan adalah Pulau Batan Pelei di Distrik Waigeo Barat Kepulauan, tempat PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP) mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 2.194 hektare. Sejak September 2024, perusahaan ini mulai melakukan survei dan pengambilan sampel, yang langsung mendapat penolakan keras dari masyarakat adat Suku Kawei sebagai pemilik hak ulayat. Mereka khawatir aktivitas tambang akan merusak ekosistem laut dan mengganggu mata pencaharian yang bergantung pada perikanan dan pariwisata.

Penolakan juga datang dari pelaku industri pariwisata. Empat organisasi, yakni Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), Professional Association of Diver Raja Ampat (PADRA), Asosiasi Speedboat Raja Ampat (ASRA), dan Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Raja Ampat (PERJAMPAT), menyatakan bahwa keberadaan tambang mengancam sektor wisata yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah.

Selain PT MRP, perusahaan lain seperti PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang Tbk. (Antam), juga aktif menambang di Pulau Gag. Meskipun perusahaan mengklaim telah melakukan upaya konservasi dan pemberdayaan masyarakat, aktivitas tambang tetap menuai kritik karena berada di kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi.

Laporan dari organisasi lingkungan Auriga Nusantara menyebutkan bahwa lahan tambang di Raja Ampat meningkat sekitar 494 hektare dari 2020 hingga 2024, tiga kali lipat dari lima tahun sebelumnya. Total area izin tambang di wilayah ini mencapai lebih dari 22.420 hektare, seluruhnya untuk nikel.

Dampak lingkungan yang ditimbulkan meliputi deforestasi, sedimentasi yang merusak terumbu karang, serta pencemaran air laut. Hal ini mengancam keberlangsungan ekosistem laut dan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam.

Masyarakat adat dan aktivis lingkungan mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi kembali izin tambang di Raja Ampat. Mereka menekankan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekonomi berbasis pariwisata yang telah lama menjadi andalan daerah ini.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak