Purwakarta, 20 Mei 2025 – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, resmi meluncurkan program pendidikan karakter dengan mengirimkan 272 siswa bermasalah - meliputi pelaku bullying, pengguna narkoba, hingga tawuran - ke barak militer Resimen Armed 1 Sthira Yudha, Purwakarta. Program ini bertujuan membentuk kedisiplinan dan tanggung jawab melalui pelatihan fisik dan bela negara.
Dedi Mulyadi menjelaskan, program tersebut merupakan bentuk sinergi antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, TNI, dan Polri untuk mencegah anak-anak terjerumus dalam perilaku menyimpang. “Saya kerja demi rakyat, bukan untuk siapapun. Anak-anak yang terjerat masalah pelecehan seksual dan kejahatan lainnya perlu binaan yang tegas,” ujarnya usai penutupan pendidikan karakter, Minggu (18/5).
Kebijakan ini menimbulkan sorotan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Wakil Ketua KPAI, Susanto, menilai pemindahan siswa ke barak tanpa mekanisme pengadilan atau persetujuan orang tua secara menyeluruh berpotensi melanggar hak anak atas pendidikan dan perlindungan hukum.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga mengecam langkah gubernur dan mendesak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) untuk menghentikan kebijakan tersebut. FSGI menilai program instan hanya menimbulkan rasa takut tanpa perubahan perilaku jangka panjang.
Praktisi pendidikan dari Suara Surabaya, Muhammad Iqbal, berpendapat bahwa pendekatan militeristik cenderung menimbulkan trauma psikologis. “Anak-anak tidak diubah hatinya melalui ketakutan; mereka perlu konseling dan pembinaan berbasis psikososial,” kata Iqbal.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno, menegaskan pemerintah pusat akan mengkaji program tersebut agar selaras dengan prinsip hak anak nasional. “Selama tidak melanggar hak asasi dan mendapat persetujuan wali, bentuk pembinaan bisa dipertimbangkan,” ujarnya.
Pakar hukum anak dari Kompas.id, Dr. Aulia Rahmi, menyoroti aspek hukum program “barak militer.” Ia menilai perlu adanya peraturan daerah yang memayungi kebijakan ini agar tidak rawan gugatan hukum dari wali murid.
Masyarakat menanggapi kebijakan ini secara beragam. Sejumlah warga Purwakarta mengapresiasi langkah tegas untuk mendisiplinkan remaja, namun tak sedikit pula yang khawatir anak-anak “dicap nakal” dan kehilangan kesempatan pendidikan formal selama masa pelatihan.